KEBERADAAN ANTARA LOGIKA DAN RASA
Abdul Qadir Al Jailani
pernah berkata, “Aku lebih menghargai orang yang beradab, daripada orang yang
berilmu. Kalau hanya berilmu, iblis pun lebih tinggi ilmunya daripada manusia”.
Kutipan itu lebih membuat timbul pertanyaan baru yakni apa itu “beradab”? dan
kenapa kita harus beradab? Dalam KBBI beradab adalah beradab /ber·a·dab /v 1
mempunyai adab; mempunyai budi bahasa yang baik; berlaku sopan: perbuatannya
seperti kelakuan orang yang tidak ~; 2telah maju tingkat kehidupan lahir
batinnya: bangsa-bangsa yang telah ~;
Pernyataan dari Abdul Qadir Al
Jailani sangat perlu dan menjadi sebuah keharusan bagi setiap manusia sebagai
bahan introspeksi diri, apakah kita sebagai manusia ini sudah beradab atau
hanya sekedar berilmu dan setara dengan iblis. Esensi manusia yang dapat
ditangkap dari kutipan Abdul Qadir Al Jailani adalah bahwa manusia dan
sebaik-baiknya manusia tidak pernah melupakan sisi humanisnya. Sia-sia rasanya
jikalau kita hanya mengandalkan ilmu dan tergila-gila akan mencari gelar dan
hanya bertujuan eksistensialis jikalau kita tak beradab serta melupakan
humanism.
Kata beradab dan humanism tidak
terlalu jauh dalam hal esensial maknanya. Kedua kata tersebut ada dengan keberadaan
“rasa” yang sejatinya memang hanya dapat tampak melalui panca-indera semata.
Namun kata rasa yang dimaksud memiliki makna yang berbeda yakni rasa yang
berasal dari hati kecil atau dalam mungkin yang bisa menggambarkan melalui kata
“fuad” yang dimana hal ini menjadi landasan untuk menciptakan suatu keberadaan.
Setinggi-tingginya ilmu hanya
menjadi umpama daun yang tidak dapat dipakai untuk membeli suatu barang. Nihil!
Pandai beretorika, punya gelar tinggi serta mendapatkan apresiasi keilmuan yang
banyak namun melupakan “adab dan humanis” maka hanyalah menjadi pohon tanpa
buah. Tidak dapat dinikmati oleh insan-insan yang lainnya.
Saat ini manusia secara mayoritas
mengalami disorientasi mengenai keberadaan mereka sendiri sebagai manusia.
Salah seorang manusia yang dapat dikatakan bisa menjadi contoh gambaran
mengenai betapa pentingnya fuad dalam berjuang adalah Mahatma Gandhi. Beliau
memanglah seorang yang pandai, cerdas, dan kehebatan dalam berlogika sangat
baik dan luar biasa. Namun beliau seperti yang dikenal dunia yaitu seorang yang
sederhana tidak mengikuti perkembangan zaman tetapi tetap pada jalur beradab
dan humanis. Seorang Gandhi yang bukan ilmuwan hebat atau pemimpin negara
tetapi bisa sangat dihormati oleh dunia. Hal tersebut didapatkannya karena
beliau lebih meninggikan porsi humanis dan adab ketimbang segala yang berbau
logis dan keilmuan. Ia sampai rela berpuasa demi memperlihatkan penderitaan
kepada orang lain saat suatu konflik terjadi.
Pada saat itu di India dan Pakistan
sedang mengalami konflik sara (pertentangan antara golongan agama).
Sisi humanis yang tinggi
berdasarkan adab yang diperlihatkan oleh M.K. Gandhi adalah sesuatu pembuktian
bahwa manusia semestinya bergerak dengan meninggikan sisi emosional dan rasa
(fuad). Sesuatu yang “salah” pun sejatinya ada untuk mengadakan “benar” dan
kemudian penerimaan salah tersebut melalui kata toleransi. Dimana setiap
konflik antara mana benar dan salah itu jangan hanya dapat diserap melalui tahapan
logika tetapi berawal dari fuad serta memperhatikan sisi humanism dan
keberadaban.
Kita manusia bukan iblis!
Tidak hanya Gandhi yang
memperlihatkan pentingnya betapa pentingnya ‘merasa’, ‘beradab’ dan ‘berfuad’
dulu baru berlogika, Tan Malaka pun memperlihatkan melalui kutipan “Bila kaum
muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan
pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya
memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak
diberikan sama sekali".
Pada intinya keharmonisan dan
kesinergisan dalam bermanusia bermula pada fuad. Kita bukan binatang buas yang
mencari mangsa dan tidak memperlihatkan sisi kasihan terhadap mangsanya,
apalagi Iblis yang menentang perintah-perintah dari Sang Maha Kuasa.
Comments
Post a Comment