RESENSI BUKU: Islam Liberal ; Paradigma baru wacana dan aksi Islam Indonesia
Resensi
Buku
Judul
Buku : Islam Liberal ;
Paradigma baru wacana dan aksi Islam Indonesia
Pengarang
:
DR. Zuly Qodir
Penerbit
:
Pustaka Pelajar
Tahun
terbit : 2007
Ketebalan
Buku : 250 Halaman
ISBN
: 979-3477-28-8
Dalam buku ini membahas mengenai
pergerakan pluralisme, toleransi, kehidupan modern, inklusivitas dan HAM di
Indonesia. Pergerakan ini menyebar ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia,
tak terkecuali umat Islam. Hingga pada akhirnya beberapa umat Islam Indonesia
melakukan pergerakan yang disebut Islam Liberal (ISLIB). Pergerakan Islib di
Indonesia membangun citra yang baik karena pergerakan ini akan berujung pada civil society yang juga membangun stigma
masyarakat yang lain bahwa Islam dapat mengikuti perkembangan zaman.
Namun disisi lain pergerakan Islib
ini banyak mendapat pertentangan dengan anggapan pergerakan ini merusak
akidah-akidah Islam.
Sesungguhnya pergerakan Islib ini
bermula dari berakhirnya rezim Orba yang telah banyak melakukan intervensi
serta penekanan terhadap segala pergerakan yang terjadi di Indonesia. Dengan
penekanan yang dilakukan pada rezim Orba maka Indonesia yang lebih demokratis
pun ikut tertekan. Penekanan ini sebenarnya telah lama terjadi, bahkan pada
rezim Orla pergerakan-pergerakan Islam pun sering kali diredup.
Setelah berakhirnya Orba, organisasi
banyak bermunculan dan lebih berani menampakkan eksistensinya tak terkecuali
organisasi Islam. Bahkan organisasi-organisasi ini melakukan geraknnya secara
militan. Sehingga pada akhirnya pergerakan ini pun seperti Islam Radikal. Hal ini disebabkan dengan kebiasaan umat
Islam yang hidup secara sekuler serta eksploitasi barat yang mengjangkit
kehidupan umat Islam di Indonesia.
Pergerakan Islam Liberal yang berdasar
pada gerakan sosial baru menyebabkan NGO-NGO yang berbasis agama lebih berfikir
humanistis. Adapun pergerakan islam liberal disebabkan oleh faktor-faktor seperti reintrepretasi teks
agama yang harus bersifat kontekstual, wacana pluralisme, kesetaranaan gender
dan HAM. Kemudian dari faktor-faktor
tersebutlah NGO bergerak secara praksis dilapangan, para intelektual muda melakukan
eksplorasi yang bersifat multidisipliner dan mandiri, telah lama terjadinya
multidimensi dan terakhir kesadaran masyarakat akan transformasi.
Dari pergerakan sosial diatas
menimbulkan liberalisasi pemikiran yang terjadi di masyarakat dan mengakibatkan
pelbagi mazhab pemikiran keagamaan seperti mahzab pemikiran Islam Radikal yang memang
menolak pemikiran dan praktik yang melenceng dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Kemudian
ada mahzab pemikiran Islam Moderat yang dapat menerima pelbagai macam corak
ragam pemikiran Islam. Adapun mahzab
pemikiran Islam Liberal yang sering kali melakukan kritikan atas keislaman
karena menurut mahzab Islam Liberal, Islam harus dipahami secara kontekstual,
progresif, dan emansipatoris.
Dalam buku ini penulis menyatakan
bahwa pemikiran islam di Indonesia tidak bisa lepas dari dari perkembangan
pemikiran keagamaan yang terjadi di Amerika, Eropa maupun dari jazirah Arab. Tidak
hanya itu pemikiran islam di Indonesia juga dipengaruhi oleh perkembangan
ilmu-ilmu sosial modern seperti sosiologi, antropologi, ilmu bahasa, semiotika
dan ekonomi yang perkembangan ilmu-ilmu sendiri dipengaruhi juga dari pemikiran
Neo-Marxis, Neo-Liberalis, Neo-Sosialis, Neo-Modernis, dan Post-Modernis.
Dari faktor-faktor yang mempengaruhi
pemikiran keagaman khususnya keislaman membuat Indonesia pernah menganut developmentalism.
Perkembangan pemikiran keislaman di
Indonesia sebenarnya telah mulai sejak prakemerdekaan. Salah satu orang yang
mengawalinya adalah H.O.S. Tjokroaminoto yang merupakan seorang pemikir Islam
Modernis bahkan bisa dikatakan liberal. Beliau merasa perlu untuk merumuskan
sosialime Islam yang dituangkan pada perkembangan SDI/SI saat melawan hegemoni
perdagangan yang dilakukan oleh Belanda pada saat itu.
Seiring dengan perkembangan
pemikiran Islam di Indonesia melahirkan beberapa corak pemikiran Islam
Indonesia.
Menurut intelektual muda
Muhammadiyah pemikiran Islam dapat dikategorikan menjadi formalistik,
subtansialistik, transformatik, totalistik, idealistik dan realistik. Tipe
pemikiran formalistik lebih menunjukkan orientasi yang cenderung menopang
bentuk-bentuk masyarakat politik Islam dan melakukan penekanan pada ideologisasi
dan politisasi.
Tipe pemikiran subtansialistik mengajukan argumen bahwa yang paling penting dari
seseorang adalah aksentuasi subtansi iman atau peribadatan yang bukan bersifat
formalistik. Salah satu contoh tokoh yang menganut pemikiran ini adalah
Nurcholish Madjid yang faktanya pernah menjadi ketua PB HMI selama 2 periode.
Lalu pada tipe pemikirian transformatik yang berpandangan menolak
bahwa Islam yang utama adalah kemanusiaan. Oleh karena itu umat Islam harus
menjadi kekuatan yang dapat memotivasi dan mentransformasikan masyarakat dari
segala aspek dalam skala yang teoritis. Sehingga Islam akan mengarah pada
pelepasan sifat pembodohan, keterbelakan dan kemiskinan.
Kemudian pada tipe pemikiran totalistik
memiliki persepsi bahwa Islam merupakan doktrin yang kaffah (total). Doktrin total yang dimaksud adalah Islam mengandung
segala aspek baik itu sosial, politik, ekonomi dll. Dengan persepsi tersebut
maka segala masalah yang dihadapi oleh manusia dapat diselesaikan. Sedangkan
pada pemikiran idealistik sendiri
lebih mengarah pada Islam cita-cita yang semuanya berasar pada Al-Qur’an dan
Hadist Nabi. Dan dari dasar tersebut perlu penafsiran secara kontekstual dan
cerdas sesuai dengan perkembangan zaman. Lalu pada pemikiran terakhir yakni realistik merupakan akulturasi dari
ajaran subtansialis dengan realistas sosial-kultural yang terus berkembang.
Dengan berbagai tipe pemikiran Islam
yang dirumuskan oleh intelektual muda Muhammadiyah yang telah dijelaskan di
atas penulis juga mengambil pandangan dari Prof. Syafii Maarif yang membedakan
corak pemikiran Islam dari neo-medernis, neo-tradisionalis, eksklusif Islam dan
modernis sekularis Islam.
Dari pelbagai tipe pemikiran yang
telah dijelaskan oleh penulis, maka penulis beranggapan tipe pemikiran-pemikiran
Islam tersebut telah membangkitkan mahzab baru pemikiran Islam. Adapun mahzab
yang di maksud adalah untuk membaca corak pemikiran khas yang senantiasa
digerakkan oleh komunitas tersebut. Mahzab baru pemikiran Islam tersebut adalah
Mahzab Ciputat dan Mahzab Sapen.
Pertama-tama penulis menjelaskan
Mahzab Ciputat yag lebih didominasi oleh corak pemikiran subtansialis-pluralis.
Orang-orang yang berada dibelakang mahzab ini adalah orang-orang yang
berlatarbelakang pendidikan/ kajian sekitar sosial, filsafat, sosial-politik
dan kebudayaan. Wadah yang menjadi mahzab ini yaitu HMI (KAHMI) pada tahun
70-80an, FORMACI (Forum Mahasiswa Ciputat) dan beberapa Universitas Islam
Negeri (UIN/IAIN) di Indonesia.
Lalu Mahzab Sapen berlatar belakang
orang-orang Muhammadiyah kiri dan mereka yang berlatar belakang nahdhiyin. Mahzab ini pertama kali
diadakan berdasar dari pemikiran Prof. Mukti Ali yang sebenarnya seorang
akademisi IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan pernah menjadi mentri agama.
Beliau juga seorang yang dekat dengan Muhammadiyah.
Dengan segala dasar pemikiran yang
telah dijelaskan oleh penulis, maka pemikiran-pemikiran tersebut membuat pergerakan
Islam Liberal terjadi. Penulis menganggap Islam Liberal adalah suatu arah
pemikiran baru di Indonesia.
Dalam buku ini penulis menjalaskan
Islam Liberal berdasar pada Charles Kurzman yang menganggap ada beberapa
pemikir Islam yang mendukung jaminan hak-hak perempuan, demokrasi, teokrasi dan
hak-hak masyarakat non-muslim di negara Islam. Sejatinya pergerkan Islam Liberal telah lama
dimulai dengan terbitnya buku dari Ahmad Wahib “Catatan Harian Ahmad Wahib: Pergolakan Pemikiran”. Memang benar
adanya Cak Nur-lah yang melintarkan isu sekulturasi namun Wahub menjadi motor
penggerak anak muda Islam di Yogyakarta dengan wadahnya HMI Cabang Yogyakarta.
Pada buku ini penulis juga
menjelaskan mengenai pergerakan Islam Liberal dalam rana politik seperti
halnya.
Pada saat masa akan berakhirnya
zaman Orba terbentuknya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Namun berdirinya
ICMI menuai beberapa kritikan dari cendekiawan lainnya seperti halnya
Abdurrahman Wahid dan Djohan Effendy yang menganggap bahwa cendekiawan harusnya
tidak berada dalam satu wadah yang terorganisir. Karena hal tersebut membuat
para cendekiawan telah terkooptasi.
Segala bentuk dinamika terjadi pada
rana para cendekiawan ini, menyebabkan mereka terpecah terlebih saat Soeharto
terpilih lagi menjadi Presiden pada tahun 1992.
Setelah terlepas dari rezim Orba
maka pergerkan Islam di Indonesia dapat dikatakan menjadi sangat progresif.
Kemudian terciptalah kelompok Islam moderat dan Islam militant-radikal yang
dapat dikatakan saling berhadapan satu sama lain. Pada kelompok Islam moderat
dihuni oleh NU dan Muhammadiyah kemudian disisi lainnya ada FPI, HTI dan
Majelis Mujahidid sebagai kelompok Islam militant-radikal.
Dengan kondisi bangsa pasca
Reformasi membuat Jaringan Islam Liberal sebagai embrio pemikiran baru yang
menjadi wadah ruang publik dengan trade mark kebebasan beragama. Hal tersebut
membuktikan bahwa JIL dengan konsep yang dibawa lebih mendukung sikap
pluralisme. Sehingga tidak sedikit yang menentang hal-hal yang diliakukan oleh
JIL. Penulis menganggap yang terjadi saat itu adalah sebuah awal dari zaman
baru yang membuat para tokoh-tokoh lama yang diidolakan ingin disingkirkan
karena pemikiran yang dapat disebut radikal.
Hal tersebut dapat disebutkan
faktanya seperti menurunnya kepercayaan publik terhadap NU dan Muhammadiyah
yang banyak orang yang beranggapan bahwa kurang mendukung “proyek Islamisasi
negara” dan lebih banyak yang memilih menjadi bagian dan mendukung kelompok
Islam non-mainstrem untuk merealisasikan harapannya.
Oleh karena itu penulis beranggapan
bahwa perlunya dimunculkan wacana baru yang menjadi bentuk pelampiasan
kebiasaan berbeda pendapat, berdialog dan berdiskusi secara serius, agar bangsa
ini tidak harus terus menjadi bangsa yang kerdil.
Demi melancarkan wacana tersebut
penulis beranggapan perlunya dukungan terhadap JIL yang menjadi wadah yang
membawa tema-tema seperti Islam Demokrasi, Pluralis dan Syariah. Dengan
tema-tema tersebut secara tidak langsung memberikan perimbangan dan control
dalam perkembangan pemikiran dan aksi Islam Indonesia.
Tema-tema yang dijelaskan penulis
dalam bukunya mengarahkan pada konstruksi Islam Rakyat. Namun konstruksi yang
ingin diangkat oleh penulis dianggap bentuk keagamaan yang musryik dan
sinkretik oleh mahzab Islam modernis-puritan. Hal ini karena dalam pandangannya
praktek-praktek keagamaan yang tidak sama persis dengan Al-Qur’an dan Sunnah
dipandang sebagai bid’ah, mengada-ada dan menyesatkan.
Namun penulis menegaskan kembali
bahwa konstruksi Islam Rakyat yang dimaksud adalah konstruksi yang berbasis
pada kondisi sosial, politik, budaya dan ekonomi kerakyatan. Agama rakyat ini
yang menjadi tujuan yang harus diemban oleh komunitas JIL, yaitu sebuah
sintesis agama elit dan agama abangan dan non-syariah.
Islam datang ke Indonesia, tidak
murni lewat perdagangan, namun disertai dengan Islam (sufisme), sebuah Islam
yang tidak membawa fanatisme golongan, kelompok dan mahzab tertentu, sekalipun
akhirnya berkembang menjadi Islam yang cenderung syariah dan hal tersebut
pastinya akan bertabrakan dengan gagasan yang ingin dikuak oleh JIL.
Dengan konstruksi yang dijelaskan
oleh penulis maka penulis membuat langkah sebagai bentuk realisasi Islam
Liberal dengan membumikan tema-tema seperti Islam dan demokrasi, Islam dan
kesetaraan Gender, Islam dan Pluralisme dan syariah Islam dan HAM serta Islam
dan Hubungan antar agama. Langkah berikutnya yaitu memperluas jamaah dengan
menyebarluaskan gagasan-gagasan JIL melalui media seperti diskusi-diskusi.
Kesimpulan yang diambil oleh penulis
dengan pembahasan Islam Liberal yaitu gerakan ISLIB di Indonesia masih elitis
dengan keanggotaan dan tema-tema yang diangkat cenderung ke kaum-kaum tertentu.
Oleh karena itu bagi penulis gerakan ISLIB adalah gerakan yang elit dan membuat
Islam dikonstruksi Islam elit dan gerakan ISLIB sulit untuk dijangkau oleh
orang awam. Namun disisi positif dikesimpulan penulis yakni gerakan ini diisi
oleh orang-orang yang dapat dikatakan berintelektual dan hal tersebut sudah
menjadi khas bagi ISLIB.
Comments
Post a Comment